Soal:
Benarkah Khilafah hanya tiga puluh tahun? Jika benar, apakah berarti setelah itu kewajiban menegakkan Khilafah tidak ada lagi? Jika benar, apakah berarti bentuk negara dan sistem pemerintahan saat ini tidak harus mengikuti model Khilafah?
Jawab:
Pendapat yang menyatakan bahwa Khilafah hanya tiga puluh tahun sesungguhnya didasarkan pada manthuq (makna harfiah) hadis. Padahal secara harfiah, dalam redaksinya memang tidak disertai hashr (pembatasan) yang bisa diartikan “hanya tiga puluh tahun”. Hadis tersebut, antara lain, diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ يَعْلَى، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ الْحَجَّاجِ السَّامِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ سَعِيْدٍ، عَنْ سَعِيْدٍ بْنِ جُمْهَانَ عَنْ سَفِينةَ، عَنِ النَّبِيِّ قاَلَ: «الخِلافةُ ثَلاثُونَ سنةً، وسائِرهُمْ مُلوكٌ، وَالخُلَفَاءُ وَالْمُلُوْكُ اثْناَ عَشَرَ» (رواه ابن حبان)
Kami diberitahu oleh Abu Ya’la, kami diberitahu oleh Ibrahim bin al-Hajjaj as-Sami yang berkata: Kami diberitahu oleh Abdul Warits bin Said, dari Said bin Jumhan dari Safinah, dari Nabi saw. Baginda bersabda, “Khilafah itu tiga puluh tahun. Selebihnya adalah raja. Jumlah khalifah dan raja itu ada dua belas.” (HR Ibn Hibban).
Abu Hatim, sebagaimana dikutip Ibn Hibban, berkomentar:
Hadis tersebut menurut kami, bahwa pasca tiga puluh tahun itu, secara terpaksa boleh saja disebut khalifah, sekalipun kenyataannya mereka adalah raja. Adapun khalifah terakhir, yaitu yang keduabelas, adalah Umar bin Abdul Aziz. Jadi, ketika Al-Musthafa (Nabi) saw. menyebut Khilafah itu tiga puluh tahun, dan yang terakhir dari keduabelas khalifah itu adalah Umar bin Abdul Aziz—beliau termasuk Khulafa’ Rasyidin yang mendapatkan hidayah—maka istilah khalifah juga bisa digunakan untuk menyebut penguasa yang berkuasa antara beliau dan empat yang pertama.[1]
Abu Bakar menjadi khalifah selama 2 tahun, 3 bulan dan 22 hari; Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah selama 10 tahun, 6 bulan, 4 malam; Utsman bin Affan menjadi khalifah 12 tahun, kurang 10 hari; Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah selama 5 tahun, 3 bulan kurang 14 hari; Muawiyah bin Abi Shafyan berkuasa selama 19 tahun, 14 bulan; Yazid berkuasa selama 3 tahun, 8 bulan; Muawiyah bin Yazid berkuasa selama 40 hari; Marwan al-Hakam berkuasa selama 10 bulan; Abdul Malik bin Marwan; al-Walid berkuasa selama 9 tahun, 8 bulan; Sulaiman bin Abdul Malik berkuasa 2 tahun, 8 bulan, 5 malam; Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah selama 2 tahun, 5 malam.
Hadis yang sama juga dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa’. Bahkan dengan tegas, as-Suyuthi memasukkan bukan hanya empat khalifah, ditambah Umar bin Abdul Aziz, tetapi juga memasukkan para khalifah yang lain.
Dari penjelasan ini bisa dipahami, bahwa sebenarnya Khilafah tiga puluh tahun itu maksudnya adalah Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Mereka adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khatthab, Utsman bin al-Affan, Ali bin Abi Thalib dan al-Hasan bin Ali. Total periode mereka adalah 30 tahun. Adapun yang lain setelahnya, tidak lagi mengikuti manhaj kenabian. Meski demikian, semuanya tetap layak disebut Khilafah.
Mengenai Khalifah dua belas, as-Suyuthi berkomentar:
Karena itu, yang termasuk dua belas khalifah itu adalah empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman dan ‘Ali), al-Hasan, Muawiyah, Ibn Zubair, Umar bin Abdul Aziz. Mereka delapan orang. Ada kemungkinan al-Muhtadi dari Bani Abbas termasuk di antara mereka, karena dia seperti Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah; juga ath-Thahir, karena keadilannya. Tinggal dua lagi yang masih ditunggu. Salah satunya adalah al-Mahdi, karena dia dari Ali Bait Muhammad saw.[2]
Dengan demikian, pandangan bahwa Khilafah itu hanya tiga puluh, selebihnya bukan Khilafah, jelas tidak benar. Demikian juga bahwa Khalifah tersebut hanya berjumlah dua belas. Sebab, Khilafah tersebut, dengan berbagai kesalahan implementasi (isa’ah fi at-tathbiq) yang ada di dalamnya, tetaplah Khilafah. Demikian juga khalifah di luar duabelas khalifah tersebut, tetaplah khalifah.
Selain itu, secara harfiah (manthuq), pernyataan “Khilafah itu tiga puluh tahun” tidak berarti menafikan yang lain. Jika ada yang berpendapat, bukankah frasa tsalatsuna sanah (tiga puluh tahun) ini, mafhum mukhalafah-nya bisa digunakan, sehingga lebih dari 30 tahun bukan lagi Khilafah? Demikian juga makna harfiah “duabelas khalifah”, berarti selain yang dua belas tidak bisa disebut khalifah?
Jawabannya adalah, jika ada konotasi mafhum mukhalafah yang bertentangan dengan nas yang jelas dan tegas maka konotasi tersebut tidak bisa diberlakukan. Selain itu, dalam redaksi tersebut juga tidak disebutkan alat pembatas (adat al-hashr), yang berfungsi membatasi sehingga bisa diartikan hanya 30 tahun atau 12 raja. Dengan kata lain, jika dinyatakan “Khilafah tiga puluh tahun”, atau “Khalifah dua belas” bisa juga diartikan, bahwa setelah tiga puluh tahun ada juga khalifah yang lain. Begitu juga dengan khalifah dua belas, bisa juga diartikan bahwa di luar kedua belas khalifah tersebut ada juga yang lain.
Berdasarkan fakta dan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa kewajiban untuk menegakkan Khilafah tersebut tetap berlaku, selakipun pasca periode tiga puluh tahun. Jika ada yang menyatakan, bahwa kewajiban tersebut tidak berlaku lagi, karena setelah periode tiga puluh tahun itu tidak ada lagi Khilafah, maka kesimpulan ini sebenarnya merupakan kongklusi mantiq (logika), yang sama sekali tidak mempunyai nilai di mata Allah SWT. Sebaliknya, para ulama yang hidup pasca periode tersebut justru menyatakan kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan tidak ada satu pun di antara mereka yang menyatakan, bahwa menegakkan Khilafah itu tidak wajib. Sebut saja, al-Mawardi (w. 450 H), dalam kitabnya, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah; al-Qurthubi (w. 671 H), dalam tafsirnya, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an; Ibn Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya, Tafsir Ibn Katsir. Mereka semuanya telah menyatakan kewajiban adanya Khilafah (imamah).
Dengan kata lain, andai saja adanya Khilafah (imamah) itu tidak wajib setelah periode Khilafah tiga puluh tahun, tentu mereka tidak akan menyatakan kewajiban adanya Khilafah. Namun justru sebaliknya, mereka secara konsisten menyatakan kewajiban tersebut. Bahkan ulama yang hidup di era akhir Kekhalifahan juga menyatakan pandangan yang sama tentang kewajiban adanya Khilafah. Sebut saja, kitab Al-Hushun al-Hamidiyyah. Semuanya ini membuktikan, bahwa hukum adanya Khilafah adalah wajib. Jika saat ini Khilafah tidak ada, berarti mendirikannya adalah wajib. Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Rawdhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin menyatakan, bahwa mendirikan Imamah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak) maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka Imamah itu wajib diusahakan.[3]
Selain hukumnya wajib, kewajiban menegakkan Khilafah ini juga berlaku untuk bentuk, sistem dan istilahnya. Bahkan istilah khilafah ini merupakan istilah syariah, dengan konotasi dan makna yang khas. Sebab, Khilafah merupakan bentuk negara dan sistem pemerintahan. Dengan demikian, hukum-hukum tersebut mengikat kaum Muslim. Jadi, tidak boleh lagi ada yang menyatakan, bahwa kaum Muslim bebas menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahannya, karena bentuk dan sistemnya sudah ditetapkan oleh syariah. WalLahu a’lam. [HAR]
Catatan kaki:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
sialhkan tinggalkan komentar antum ^^