~~~PERHATIAN!!! ANDA MEMASUKI KAWASAN ANTI DEMOCRAZY~~~

Selasa, 19 Oktober 2010

JILBAB


Jilbab Bukan Simbol, Tapi Suatu Kewajiban

Tanggal 17 Desember 2003 Presiden Prancis Jacques Chirac menyampaikan pidato yang isinya menyetujui rancangan undang-undang yang melarang simbol-simbol keagamaan, termasuk –secara ekspilisit dia sebutkan—hijab atau jilbab, atas dasar sekularisme yang dianut Perancis. Tentu larangan ini mengusik rasa keberagamaan kita sebagai kaum muslimin. Bagaimana sebenarnya kedudukan jilbab dalam agama Islam, benarkah sekedar sebuah simbol? Tulisan ini akan menguraikannya.

Hukum Jilbab
Dalam pembahasan syariat Islam dipahami adanya hukum-hukum yang bersifat tauqifiyah, yang artinya sebuah ketentuan Allah tentang sebuah hukum yang status hukumnya tetap, tidak berubah, tidak dikaitkan dengan ‘illat (sebab disyariatkannya suatu hukum). Misalnya, wajibnya shalat lima waktu bukanlah dikarenakan adanya sebab untuk mendisiplinkan umat Islam yang konsekuensinya manakala umat Islam telah disiplin maka hukum sholat lima waktu tidak wajib lagi. Atau wajibnya puasa Ramadhan bukanlah dalam rangka menjaga kesehatan kaum muslimin, sehingga konsekuensinya kalau kondisi kesehatan kaum muslimin telah baik sekali lalu kewajiban puasa itu menjadi gugur. Hal ini berlaku pada perkara-perkara status hukum ibadah, makanan, minuman, akhlaq dan pakaian. Islam mewajibkan perempuan muslimah manakala keluar rumah memakai jilbab dan kerudung (khimar) tanpa ilat atau alasan hukum tertentu yang apabila alasan itu tidak ada kewajibannya menjadi hilang.
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum adalah QS 24: 31 dan QS 33: 59. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat itu dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Keduanya wajib dikenakan oleh wanita dalam kehidupan umum. Mengenai pakaian wanita bagian atas, Allah berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(QS. AN Nuur 31).

Maksudnya, hendaknya para wanita menghamparkan kain penutup kepala, leher dan dadanya (sebatas 3 lubang kancing untuk dapat memasukkan baju ke kepalanya).

Mengenai pakaian wanita bagian bawah, Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.(QS. AL Ahzaab 59).

Maksudnya, hendaknya para wanita mengulurkan pakaian yang dikenakan pada bagian luar pakaian kesehariannya jika mereka hendak keluar rumah. Pakaian tersebut (baca: jilbab) berupa kain panjang (milhafah) atau semacam selimut (mula’ah) yang diulurkan sampai ke bawah. Tentang cara mengenakan pakaian luar tersebut, Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak pada dirinya.”

Maksudnya, janganlah mereka menampakkan tempat perhiasan dan anggota tubuh mereka seperti dua telinga, dua lengan, dua betis kaki, dua mata kaki, dll, kecuali apa yang biasa tampak pada diri mereka di dalam kehidupan umum. Ketika ayat ini turun, yakni pada jaman Rasulullah saw, yang biasa tampak pada diri wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Ummu ‘Athiyah berkata:
“Rasulullah saw telah memerintahkan kepada kami untuk keluar (menuju lapangan) pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha; baik wanita tua, yang sedang haid, maupun perawan. Wanita yang sedang haid menjauh darikerumunan orang yang shalat, tetapi mereka menyaksikan kebaikan dan seruan yang ditujukan kepada kaum muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah saw, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab. “Beliau kemudian bersabda, “Hendaklah salah seorang saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
Dari hadits ini ada 2 point pemahaman yang dapat kita ambil. Pertama, semua muslimah disunnahkan untuk menghadiri sholat idhul adha, tetapi harus memakai jilbab. Ditegaskan bahwa jika ada yang tidak memiliki jilbab, maka temannya harus meminjamkannya. Berarti jilbab itu wajib dipakai ketika keluar rumah.
Kedua, hadits di atas menyiratkan tentang jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan wanita diatas pakaian kesehariannya (yang biasa digunakan di dalam rumah). Karena ketika ummu Athiyah bertanya tentang seseorang yang tidak memiliki jilbab, tentu wanita tersebut bukan dalam keadaan telanjang, melainkan dalam keadaan memakai pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah yang tidak boleh dipakai untuk keluar rumah. Dan wanita yang tidak mempunyai jilbab harus meminjam kepada saudaranya. Jika saudaranya tidak bisa meminjamkannya, maka yang bersangkutan tidak boleh keluar rumah.
Jadi hadits yang dituturkan oleh Ummu ‘Athiyyah menerangkan secara tegas tentang kewajiban wanita untuk mengenakan pakaian luar (jilbab) di atas pakaian kesehariannya ketika hendak keluar rumah. Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa kewajiban berjilbab keluar rumah adalah bagi wanita muslimah yang telah aqil baligh. Aqil artinya ber akal, waras, atau tidak gila. Sedangkan baligh artinya dia telah menstruasi.

Syariat Jilbab Menjaga Kehormatan

Dari Qs. Al Ahzab 59 di atas dapat kita ketahui adalah bahwa hikmah mengenakan jilbab adalah supaya lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Pada waktu itu orang-orang fasik berani menggoda para budak wanita (amah) yang berjalan di malam hari di jalan-jalan untuk membuang hajat atau memenuhi kebutuhan lainnya. Orang fasik tidak berani mengganggu wanita muslimah. Sebab pelecehan terhadap wanita muslimah akan menerima hukuman yang besar, lebih-lebih mereka mengetahui bagaimana tindakan tegas Rasulullah saw. terhadap Bani Nadlir yang melecehkan wanita muslimah di pasar Yahudi. Dan dengan identitas wanita muslimah seperti itu, maka segala gangguan dan pelecehan terhadap mereka pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum muslimin secara keseluruhan.
Nyatalah bahwa Islam memandang wanita sebagai suatu kehormatan yang wajib dijaga dan dipelihara. Islam mensyariatkan pakaian jilbab dan khimar adalah untuk menjaga dan memelihara kehormatan itu. Nabi saw. bersabda: “Wanita itu adalah aurat”. Berarti badan wanita itu harus ditutupi sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya. Jika aurat itu dilihat orang yang tidak berhak, maka wanita itu dilecehkan kehormatannya. Maka para wanita yang tidak memakai pakaian syar’I (legal) di depan umum, yakni jilbab dan kerudung, berarti dia menyia-nyiakan payung hukum baginya, yakni menjaga kehormatannya sendiri dengan menutup auratnya dengan mengenakan pakaian khusus pada saat keluar rumah. Wanita yang mengobral auratnya sesungguhnya telah menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Ini tidak diperkenankan dan pelakukanya bisa dikenakan hukuman ta’zir (hukuman untuk mendidik) oleh negara. Dalam sistem peradilan Islam hakim(qadli), misalnya bisa menjatuhkan hukuman jilid pada wanita yang keluar rumah dengan tanpa mengenakan jilbab dan kerudung dan jika mengulangi lagi wanikta akan diasingkan selama 6 bulan (lihat Abdurrahman Al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, hal 289).


Khatimah
Sebagian orang yang kurang mengerti agama Islam mengatakan bahwa jilbab itu bukan pakaian yang wajib dikenakan seorang muslimah, yang penting justru pakaian taqwa. Ini kira-kira sama dengan orang yang mengatakan sholat itu tidak penting, yang penting “eling”, ingat kepada Allah atau dia mengatakan shaum itu tidak penting, yang taqwa. Padahal orang yang taqwa dan ingat kepada Allah SWT Sang Pembuat Syariat ini tentu diakan dengan tulus ikhlas melaksanakan shalat dan puasa, sebagaimana seorang muslimah yang beriman dan taat kepada-Nya akan dengan ikhlas dan hati lapang mengenakan kerudung dan jilbabnya. Sebab jilbab itu bukan simbol untuk dipamerkan, tapi suatu kewajiban syariat yang mesti dijalankan dengan dasar taqwa dan keikhlasan demi mencapai ridlo-Nya. Wallahua’lam bisshowab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sialhkan tinggalkan komentar antum ^^

like dong di fb

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Wassalam Wr. Wb...